Perjelajahan Ibnu Battuta
Abu Abdullah Muhammad bin Battuta
atau yang lebih sering disebut Ibnu Battuta lahir pada tahun 1304 M di Tangier,
sebuah kota yang terletak di dekat Selat Gibraltar, Maroko. Ia dibesarkan dalam
keluarga yang taat menjaga tradisi Islam. Sebenarnya, sejak kecil, ia tertarik
untuk berlayar dan berpetualang. Walaupun ia tidak pernah mendapat ilmu
astronomi dan ilmu kelautan lainnya, hatinya tergerak untuk melakukan
penjelajahan terbesar pada masa itu.
Ibnu
Battuta memulai perjalanannya pada umur 21 tahun untuk menunaikan ibadah haji.
Ia bersama jamaah Tangiers lainnya menempuh hawa Laut Mediterania yang kering.
Mereka berjalan kaki menyusuri daratan Afrika yang berpasir di bawah sinar
matahari yang terik . Mereka menyusuri pantai utara Afrika melewati Aljazair ,
Tunisia, Tripoli, Alexandria, Kairo, Jerusalem, singgah di Damaskus, Madinah,
hingga Makkah.
Dalam
perjalanan pertama kalinya ini, Ibnu Battuta menyempatkan diri melihat keajaiban
dunia di Alexandria, yaitu Pharos Lighthouse yang tingginya mencapai 104 m.
Sayangnya, bangunan ini hancur akibat gempa yang terjadi pada abad tersebut .
Selain itu, ia juga sempat singgah di Pyramids of Giza.
Setelah
menunaikan ibadah haji, Ibnu Battuta memutuskan tinggal di Makkah untuk
memperdalam studinya. Selain mengunjungi tempat-tempat suci di Makkah, pada
tahun 1326, ia melanjutkan perjalanan ke wilayah Iran dan Irak. Setahun
kemudian, ia kembali ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya.
Setelah itu, ia tinggal di kota suci tersebut selama satu tahun.
Pada
tahun 1328, Ibnu Battuta melanjutkan perjalanan ketiganya ke Pantai Timur
Afrika dan kota Kilwa (sekarang Tanzania). Setelah itu, ia melakukan perjalanan
ke Teluk Persia melalui jalur laut. Kemudian, ia kembali ke kota suci melalui
jalan darat untuk menunaikan ibadah haji yang ke tiga kalinya.
Penjelajahan
Ibnu Battuta berlanjut di Somalia dan pantai-pantai di Afrika Timur, termasuk
Zeila dan Mambasa. Lantas, ia kembali ke Aden, lalu ke Oman, Hormuz, di Persia,
Ibnu Battuta berkesempatan bertamu di kota Baghdad. Di kota ini, ia menyaksikan
sarana pemandian umum yang tak ada tandingannya di dunia. Setelah itu, pada
tahun 1332, Ibnu Battuta kembali ke kota Makkah.
Setelah
itu, ia berlayar ke kota Alaya menggunakan kapal Genoa ke Pantai selatan Asia
kecil. Setelah singgah di Konstantinopel, ia berlayar menyeberangi Laut Hitam
ke wilayah Asia Tengah. Kemudian , ia melanjutkan perjalanan ke wilayah
Afghanistan (sekarang).
Pada
Tahun 1334 M, dari wilayah Sungai Volga,Ibnu Battuta menerobos wilayah
Afghanistan melalui Kabul hingga ke Delhi, India, Di Delhi Ibnu Battuta bekerja
di pengadilan Delhi yang saat itu termasuk negeri Muslim. Pada tahun1342,
sultan di Delhi mengutus Battuta melakukan perjalanan ke Cina sebagai duta
besar. Jalan yang di tempuh adalah pelayaran melalui Kepulauan Maldiva, Sri
Lanka, Bangladesh, Myanmar, Kepulauan Andaman, Aceh, Selat Malaka, Singapura,
menerobos Laut Cina Selatan, berlabuh, dan meneruskan perjalanan darat ke
Beijing.
Pada
Tahun 1346, Ibnu Battuta memulai peralanan pulang dari Beijing. Setelah
melakukan perjalanan darat sekaligus pelayaran laut selama empat tahun, ia tiba
kembali di kota kelahirannya, pada umur 44 tahun. Jadi, ia telah melakukan
penjelajahan selama hampir 24 tahun. Sungguh, suatu pengalaman yang
mengesankan.
Tak
lama tinggal di Maroko, Ibnu Battuta kembali melanjutkan perjalanan
menyeberangi Laut Tengah ke Spanyol. Ia kembali menerobos Gurun Sahara ke Mali,
Afrika Barat. Selama ia melakukan penjelajahan, terjadi epidemi penyakit yang
mematikan, The Black Plague yang menyerang seluruh wilayah Timur Tengah.
Bahkan, ia melaporkan bahwa di Kairo, korban tewas akibat penyakit ini mencpai
21.000 jiwa.
Ibnu
Battuta menceritakan bahwa ia mampu melewati kota-kota “muram” akibat wabah
penyakit The Black Plague dengan selamat. Pada tahun 1349, Ibnu Battuta tiba
kembali di Tangier. Ia pun baru mengetahui bahwa ibunya turut menjadi korban
wabah penyakit yang mematikan itu. Ia kemudian mengisi hari-harinya dengan
mengisahkan kembali perjalanan jauhnya bersama teman-teman dekatnya.
Selanjutnya,
Ibnu Battuta berangkat ke Spanyol. Tiga tahun kemudian, ia memulai perjalanan
terakhirnya menuju kota Timbuktu. Kota ini dianggap sebagai legenda oleh bangsa
eropa karena tak ada satu pun Orang Eropa yang pernah ke sana.
Pada
tahun 1354, Ibnu Battuta kembali ke tanah kelahiranya dan menetap di kota Fez.
Ia berteman baik dengan sultan yang berkuasa pada masa itu. Karena merasa kagum
terhadap perjalanan Ibnu Battuta, sang sultan pun meminta Ibnu Battuta
menuliskan ke dalam sebuah buku. Buku karangan Ibnu Battuta ini di beri judul
Rihla.
Di
dalam Rihla, Ibnu Battuta mengisahkan perjalanan sepanjang 120.000 km yang
sangat fantastis. Kisah perjalanan tersebut merupakan kisah penjelajahan yang
luar biasa. Perjanan yang di tempuhnya meliputi Spanyol, Rusia, Turki, Persia,
India, Cina, dan negara-negara muslim lainnya. Selain itu ia juga
mendiskripsikan kondisi spiritual, politik dan sosilal di setiap negeri yang di
singgahinya. Bahkan, ia berhasil “merekam” peradaban Timur Tengah pad Abad
pertengahan. Manuskrip catatan ini diyakini tersimpan di Bibliotheque
Nationale, Paris.
Kisah
perjalanan Ibnu Battuta ditulis kembali oleh Ibnu Jauzi, juru tulis sultan
Maroko (Abu Enan). Karya itu diberi judul
Tuhfah al Nuzzar Ghara’ib al Amsar wa Ajaib al-Asfar. Ibnu Battuta telah
menempuh jarak sejauh 72.000 mil melalui daratan dan lautan. Jarak ini lebih
panjang dari pada jarak yang ditempuh Marco Polo dan Para Penjelajah lainnya
sebelum ditemukannya mesin uap. Oleh sebab itu, seorang ahli sejarah bernama
Brockellman mensejajarkan Ibnu Battuta dengan Marco Pollo, Hsien Tsieng, Drake,
dan Magellan.
Ref : Wahyu Murtiningsih (2012).Para Penjelajah
Dunia.Jogjakarta:DIVA Press

0 Response to "Penjelajahan Ibnu Battuta"
Post a Comment